Kamis, 02 Februari 2012

Keberadaan Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Hutan Angke Kapuk Jakarta

Peta Tutupan Lahan Muara Angke

Oleh: Ayut Enggeliah E. / Yayasan IAR Indonesia
Kawasan lahan basah menurut definisi sempit dalam ”Konvensi Ramsar” yang ditetapkan di Iran pada tahun 1972 adalah daerah peralihan antara sistem perairan dan sistem daratan. Secara fungsi dan peranannya menjadi sangat penting bagi banyak jenis tumbuhan dan sebagai habitat satwa karena lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (tumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Satwa penghuni lahan basah juga cukup beragam, mulai dari satwa lahan basah reptile seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan berbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk juga menjadi habitat jenis mamalia besar harimau dan gajah.
Pada sisi yang lain, banyak kawasan lahan basah merupakan lahan yang subur, sehingga kerap dibuka, dikeringkan dan dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian. Kecerendungan wilayah di Indonesia sebagai lahan persawahan, pertambakan, maupun sebagai lokasi transmigrasi.
Berdasarkan nilainya yang tinggi, di sebagian negara dengan potensi lahan basah yang tinggi diawasi dengan ketat sebagai fungsi penggunaan dimasukkan ke dalam program-program konservasi dan dirancang sebagai kawasan pelestarian keanekaragaman hayati seperti Biodiversity Action Plan.
Salah satu kawasan lahan basah yang masih tersisa dengan potensi alam yang cukup tinggi adalah kawasan Hutan Angke Kapuk (HAK) terdiri dari SMMA (Suaka Margasatwa), HL (Hutan lindung) dan TWA (Taman Wisata Alam) Muara Angke merupakan kawasan konservasi yang berlokasi di utara Jakarta. Meskipun Jakarta utara memiliki hutan yang tidak terlalu luas tetapi memiliki nilai keanekaragaman tinggi baik flora maupun fauna. Beberapa jenis satwa yang hidup di daerah ini antara lain terdapat 104 jenis burung (data: JGM 2010), mamalia, reptile dan 8 jenis mangrove sejati dengan 7 jenis vegetasi lainnya.
Salah satu jenis mamalia yang mudah untuk ditemukan didaerah HAK adalah Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis), keberadaan monyet ini dibiarkan dalam keadaan liar karena berdasarkan sejarah konservasi, lokasi tersebut merupakan salah satu habitat alami mereka. Di dalam ekosistem yang ditempati, Monyet ekor panjang  yang termasuk bangsa primata, selain memiliki fungsi sebagai salah satu pengatur keseimbangan alam juga berfungsi sebagai pemencar biji (Pijl , 1982).

Berdasarkan survey dan monitoring populasi Monyet ekor panjang yang dilakukan oleh Yayasan IAR Indonesia pada tahun 2011, bahwa disekitar kawasan HAK terdapat 148 ekor Monyet ekor panjang dari 7 kelompok dengan keberadaan potensi pakan alami rata-rata 40% berasal dari alam yaitu jenis tumbuhan lahan basah adalah mangrove seperti Pidada (Sonneratia caseolaris), Api-api (Aviciena), Nipah (Nypa fruticans wurmb) dll dengan perhitungan total tutupan lahan GIS 49,16%.

Sebaran populasi Monyet ekor panjang tergantung dari potensi pakan, dapat disimpulkan bahwa jenis tumbuhan pakan alami yang dimakan dari kawasan HAK adalah terdapat 18 jenis, bagian yang dimakan adalah daun, buah, tangkai, kulit batang, akar, bunga, umbut dll. Dari 8 jenis tumbuhan tergolong sering dimakan (sangat disukai) adalah jenis tumbuhan mangrove.
Potensi pakan alami disekitar kawasan HAK sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan Monyet ekor panjang, untuk kawasan TWA saja dari total 8 jenis tumbuhan pakan terdapat 2 tumbuhan mangrove yang sangat disukai yaitu Pidada (Sonneratia caseolaris) dan Bakau (Rhizophora mucronata, R. apiculat) dengan frekwensi perjumpaan makan 11-15 kali. Sedangkan dari kawasan HL dengan tutupan lahan 56,52% didominasi jenis Rizhopora sp, dari 12 jenis tumbuhan pakan terdapat 4 jenis yang sangat disukai yaitu Akasia (Acacia auriculiformis), Api-api (Aviciena), Anggur laut dan Pidada (Sonneratia caseolaris). Dan untuk kawasan SMMA terlihat tutupan lahan dari jenis Pidada (Sonneratia sp) 38,9 % Rizhopora 22%, sedangkan luasan perairan yang ditumbuhi eceng gondok sekitar 25,8%. Dari total 11 jenis tumbuhan pakan di kawasan SMMA terdapat 4 jenis mangrove yang sangat disukai diantaranya Pidada (Sonneratia caseolaris) dan Nypa (Nypa fruticans wurmb) selain Petai cina (Leucaena Leucocephala) dan bagian umbut dari Eceng gondok (Eichhornia crassipes). (Data IAR-Indonesia 2011)

Potensi vegetasi kawasan mangrove di HAK terbilang cukup tinggi tetapi permasalah utama yang yang harus menjadi perhatian adalah keberadaan polusi sampah berasal dari sungai Angke juga menjadi ancaman utama dari kawasan sebagai habitat Monyet ekor panjang, berdasarkan pantauan yang dilakukan oleh JGM (Jakarta Green Monster) disalah satu kawasan HAK yaitu SMMA pada bulan Maret 2007 dalam kegiatan aksi bersih sampah setelah banjir besar Jakarta Februari 2007 diperoleh bahwa jumlah sampah plastik mencapai 4 ton. Sedangkan sampah non plastik sekitar 206 Kg. Jenis perolehan sampah cukup beragam mulai bungkus permen sampai kulkas. Sekitar 95 % sampah yang ditemukan merupakan sampah plastik dan sumbernya berasal dari rumah tangga. Sampah tersebut masuk ke dalam kawasan SMMA dan HL melalui aliran sungai Angke.

Dampak utama yang ditimbulkan dengan masuknya sampah ke dalam kawasan yaitu mengancam kelestarian ekosistem mangrove baik flora maupun faunanya. Dengan kehadiran sampah di SMMA dan HL adalah menyebabkan perubahan perilaku makan Monyet ekor panjang didalam kawasan. Sejak semakin banyaknya sampah masuk kawasan HAK, dari beberapa kelompok Monyet ekor panjang yang disekitar Sungai Angke total waktu mencarai makan adalah 40% makan sampah. Selain itu perilaku makan yang menyimpang adalah ancaman kesehatan jika plastik ikut termakan, akan mempengaruhi sistem pencernaan Monyet ekor panjang dan dapat berakibat kematian. Air sungai Angke yang telah tercemar oleh pencemar organik maupun non organik (logam berat) dan tingginya konsentrasi bahan pencemar di dalam kawasan, tentu akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup ekosistem mangrove sebagai kawasan lahan basah itu sendiri.

Mari lindungi kawasan mangrove sebagai habitat Monyet ekor panjang dengan tidak membuang sampah sembarangan…

6 komentar:

  1. menarik sekali mbak,,cuma saya g bisa lihat petanya dengan baik,,cz blur pas didownload

    BalasHapus
  2. Dear Arif, mohon maaf sebelumnya memang kualitas fotonya kurang baik, tapi sekarang fotonya sudah kami ganti dengan kualitas yang lebih baik. terimakasih

    BalasHapus
  3. kalo saya lihat di peta ga ada vegetasi mangrove jenis Avicenia sp. padahal dilapangan mangrove jenis ini cukup mendominasi,

    BalasHapus
  4. Dear mr_cimong,

    Diatas sudah disampaikan bahwa berdasarkan monitoring tahun 2011 jenis aviciena termasuk Pidada (Sonneratia caseolaris), Api-api (Aviciena), Nipah (Nypa fruticans wurmb) dll dengan perhitungan total tutupan lahan GIS 49,16% didalam kawasan. jadi klasifikasi tersebut keseluruhan di 3 lokasi (Suaka Margasatwa Muara Angke, Taman wisata alam dan Hutan Lindung secara keseluruhan) Kalau Anda membutuhkan data tutupan lahan dimasing-masing kawasan silahkan mengirimkan email Anda.

    Terimakasih
    Adm

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa dikirimkan ke email saya di irwan_sugiarto@ymail.com
      terima kasih sebelumnya,,

      Hapus
  5. isi artikelnya menarik sekali, saya sebagai seorang rimbawan sangat tertarik sekali, info-info pada blog ini sangat membantu uasaha kampanye konservasi, saat ini saya sedang melakukan penelitiandi TWA angke Kapuk juga... tetapi terkait dengan wisata alamnya(untuk menyelesaikan thesis pada program studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di IPB), jika IAR memiliki data terkait tentang TWA angke kapuk bisakah saya mendapatkan bantuan data dan informasi, bagaimana teknis dan perijinan yang perlu saya lakukan? terima kasih sebelumnya, untuk kontak saya di tri.rahayuningsih@gmail.com

    BalasHapus