Rabu, 18 Januari 2012

Televisi memicu “ketersiksaan” terhadap satwa???

Oleh Ayut Enggeliah Entoh
Tayangan visual seperti film dan televisi adalah media yang paling mudah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, dan tayangan yang memuat kekerasan pada hewan akan berkontribusi terhadap perilaku masyarakat atau individu. Pesan inilah yang disampaikan oleh Drh. Wiwiek Bagja sebagai ketua PDHI (Persatuan Dokter Hewan Indonesia), pada tangal 13 Januari 2012 di kantor KPI IAR-Indonesia dan beberapa LSM perlindungan terhadap Satwa diundang audiensi dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang diinisiasi oleh ProFauna Indonesia. Dialog mengenai tayangan hewan di televisi ini diadakan sebagai tanggapan atas Surat Terbuka yang ditujukan kepada KPI oleh Remotivi sebagai lembaga yang bekerja untuk pemantauan tayangan televisi di Indonesia. Dalam dialog ini selain diikuti oleh LSF (Lembaga Sensor Film) juga dari beberapa stasiun tv seperti Trans7, TransTV, ANTV, SCTV, MNC-TV, TVRI
Drh. Wiwiek Bagja menjelaskan bahwa kesejahteraan hewan (principles of welfare) adalah dalam penggunaan hewan untuk berbagai kepentingan, yaitu: bebas dari haus dan lapar, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit akibat cidera dan sakit, bebas dari rasa takut dan tertekan, dan bebas berekspresi untuk berperilaku alami. Maka dari itu dalam penggunaan Satwa harus didampingi oleh Dokter Hewan.
Jefri Gabriel dari Remotivi menegaskan bahwa pokok permasalahan yang ada dalam tayangan televisi yang melibatkan hewan, bahwa (1) beberapa tayangan memuat unsur kekerasan dan sadisme, (2) adanya pengabaian hak anak-anak atas pendidikan serta rasa aman dan nyaman, (3) memuat informasi yang keliru, (4) mengabaikan kesejahteraan hewan, serta (5) mendorong penyimpangan hobi.
Menurut Irma Herawati dari ProFauna dan Benvika dari JAAN  berpendapat yang sama bahwa terdapat banyak masalah terkait hewan yang ditampilkan di televisi. Sebagai contoh penggunaan satwa langka dalam iklan berdasarkan WCU (Wildlife Crime Unit) akan  mendorong meningkatnya penjualan satwa tersebut di pasar gelap dan pasti akan berakibat pada tindak kekerasan yang menyebabkan hewan menjadi stres, sakit, dan takut.
Judul tayangan yang bermasalah antara lain: Petualangan Panji, Gadis Petualang, Steve Ewon Sang Pemburu (ketiganya disiarkan Global TV), Mancing Mania, dan Berburu (keduanya disiarkan Trans 7). Bisa dipastikan penggunaan satwa tersebut menyebabkan stress dan dan berpotensi sebuah rekayasa keberadaan satwa yang tidak sesuai dengan habitat alami satwa berasal.
Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat berpendapat, “Kami berharap bukan dihilangkan, bahkan ditambah (tayangan mengenai hewan) dengan muatan edukasi dan tayangan yang disajikan harus mempertimbangkan agar anak-anak mempunyai perspektif positif terhadap hewan yang ditampilkan.
Salah satu efek dari tayangan kekerasan terhadap satwa adalah pada saat Tim dari IAR melakukan kegiatan edukasi dan berinteraksi langsung dengan anak-anak yaitu munculnya counter  bahwa perlakuan “tidak baik” yang pernah ditonton di tv adalah sesuatu yang wajar dan boleh. Maka dari itu segera ada sebuah perbaikan mutu acara bagi masyarakat terutama anak-anak yang mendidik dan berkualitas.
Selain perlindungan terhadap satwa, adalah tayangan di televisi harus memperhatikan perlindungan terhadap publik. Menurut Roy Thaniago dari Remotivi bahwa sensitivitas publik terhadap segala bentuk kekerasan mesti dipertinggi, bukan diperendah dengan membiarkan kekerasan terhadap hewan dialami sebagai sebuah tontonan atau pengalaman yang wajar.
Salah satu pernyataan Drh. Wiwiek Bagja yang menarik adalah “Bagaimana satwa tersebut menemui kematiannya”, apa bila satwa terluka dilepaskan kembali seperti yang ditampilkan di acara mancing mania bisa dipastikan satwa tersebut akan menjadi buruan satwa lainnya dialam. Hal inilah yang harus kita perhatikan sebagai manusia yang beradap dan bermoral tidak boleh mempermainkan makhluk ciptaan Tuhan.
Mari bersama menghargai makhluk ciptaanNya karena kita mempunya hak yang sama…

1 komentar: